Menjalin komunikasi lintas jarak dan waktu, mencari ragam hiburan, melakukan transaksi jual beli, bahkan memperoleh sumber penghasilan. Salah satu aktivitas yang dapat menjadi mata pencaharian baru bagi seseorang karena dampak kecanggihan teknologi adalah endorsement.
Secara harfiah, endorsement berarti memberikan dukungan atau rekomendasi pada seseorang atau sesuatu dengan memanfaatkan pengaruh publik. Seseorang yang dapat dikatakan memiliki pengaruh publik atau influence sering disebut influencer.
Dalam istilah lain, kerap dijuluki key opinion leader atau pemimpin opini publik. Para pemengaruh ini meliputi pembuat konten (content creator), artis, selebgram, artis TikTok, YouTuber, blogger, atau orang yang memiliki jabatan tertentu di suatu organisasi. Ukuran pengaruh ini bervariasi, mulai dari popularitas, arah pemikiran, jumlah pengikut media sosial, konten yang dibuat, hingga dampak yang dirasakan pada komunitas tertentu.
Sebagai contoh, artis atau selebgram mempromosikan suatu produk dari merek tertentu di akun Instagram pribadinya atau melalui media sosial lainnya. Mereka dapat mempromosikan produk dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan testimoni atau memperlihatkan cara menggunakan produk tersebut sesuai kreativitas masing-masing.
Pelaku endorsement (endorser) akan menerima pembayaran untuk setiap promosi yang ia lakukan. Besaran pembayaran berbeda-beda, tergantung dari tingkat popularitas pemengaruh, banyaknya jumlah pengikut, konten yang dihasilkan, jumlah konten yang diunggah, dan sebagainya.
Pajak untuk Endorser
Berdasarkan data dari Tek.id, jumlah pemengaruh di Indonesia saat ini tumbuh cukup pesat. Menurut data, 2.552 pemengaruh mendaftar sebagai pembuat konten di SociaBuzz setiap bulan. Sebanyak 45,94% telah terdaftar sebagai pembuat konten untuk memonetisasi merek dan konten pribadi mereka.
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan berbunyi:
“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun…..”
Pada pasal tersebut diketahui bahwa objek pajak adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dengan kata lain, karena pelaku endorsement ini mendapatkan penghasilan atas promosi yang telah dilakukan, maka dari segi perpajakan mereka, jelas akan dikenakan PPh.
Penghasilan dari jasa penyediaan tempat dan waktu dalam media lain (dalam bentuk biaya transaksi) untuk penyampaian informasi merupakan objek PPh yang wajib dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 26.
Apabila pengiklan sebagai pengguna jasa adalah Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan yang ditunjuk sebagai pemotong PPh, maka pengguna jasa tersebut wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 23, atau Pasal 26 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, apabila pemberi endorse tidak memotong PPh 21, maka pelaku endorsement-lah yang harus melaporkan penghasilan yang diterima melalui Surat Pemberitahuan (SPT).
PPh Pasal 21 dikenakan apabila pelaku endorse tersebut bekerja secara mandiri atau pribadi. Besaran tarif yang digunakan adalah sesuai lapisan tarif pada Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ada kalanya, pelaku endorsement berada di bawah naungan sebuah manajemen (agency) atau perusahaan. Sehingga PPh yang dikenakan berupa PPh Badan. Terdapat dua skema perhitungan untuk hal ini, yaitu menggunakan PPh Pasal 23 dan Pasal 26.
Sebagai kesimpulan, endorsement merupakan kegiatan promosi daring yang dilakukan oleh pemengaruh, seperti artis atau selebgram. Penghasilan dari kegiatan ini dikenakan PPh yang harus dibayar dan dilaporkan. PPh yang dapat dikenakan yaitu Pasal 21/26 atau Pasal 23/26, bergantung dengan bagaimana jenis bisnis itu dijalankan.