Joint Operation selama ini masih mengacu pada Surat penegasan Dirjen Pajak No. S-323/PJ.42/1989 di mana bentuk JO adalah merupakan bentuk kerjasama operasi, yaitu perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dan penggabungan bersifat sementara hingga proyek selesai. Surat ini juga menegaskan bahwa bentuk penggabungan atau kerja sama operasi tersebut bukan merupakan subjek dari pengenaan PPh Badan, namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi/bagian pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya. Oleh karena itu pemberian NPWP terhadap suatu joint operation adalah semata-mata untuk keperluan pemungutan PPN dan pemotongan Pajak Penghasilan antara lain PPh Pasal 21, Pasal 23/26 dan Pasal 4 ayat (2).
Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-44/PJ./1994 yang mengatur mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selanjutnya berdasarkan S-251/PJ.313/1999 ditegaskan bahwa SE-44/PJ./1994 tersebut juga dapat diberlakukan untuk pemecahan bukti pemotongan PPh Final bagi anggota JO.
SE-30/PJ/2013 yang mencabut SE-80/PJ./2009 menyatakan bahwa dalam hal terdapat Kerja Sama Operasi (KSO)/Joint Operation (JO) melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan maka PPh Final atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dibayar oleh masing-masing anggota KSO sesuai dengan bagian penghasilan yang diterima masing-masing anggota KSO.
PMK 261/PMK.03/2016 memberikan contoh bahwa dalam hal terdapat perjanjian kerja sama antara perusahaan pengembang dengan pemilik tanah, penyetoran PPh Final merupakan kewajiban masing-masing, bukan kewajiban JO.
PER-04/PJ/2020 memberikan definisi baru terhadap Kerja Sama Operasi (Joint Operation) yaitu pengaturan bersama antar para pihak yang mengatur bahwa para pihak yang disebut operator bersama memiliki pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas, yang melakukan penyerahan dan/atau jasa atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation).
Definisi tersebut tampaknya merujuk pada definisi Operasi Bersama dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 66 Pengaturan Bersama yang mengadopsi IFRS 11 Joint Arrangement tentang Operasi Bersama dan Ventura Bersama menggantikan PSAK 39 (Akuntansi Kerjasama Operasi) serta PSAK 12 (Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama). PSAK 66 mengatur pencatatan Aset, Liabilitas, Pendapatan dan Biaya dilakukan oleh anggota JO masing-masing berdasarkan porsinya. JO sendiri tidak menyelenggarakan pembukuan tersendiri terpisah dari pembukuan anggotanya.
Pasal 6 ayat (1) PER-04/PJ/2020 mengatur bahwa NPWP merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.
Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 diatur bahwa kewajiban perpajakan untuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation), meliputi:
- pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
- pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan; dan/atau
- pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dalam hal Kerja Sama Operasi (Joint Operation) melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf a dari PER-04/PJ/2020 agak aneh jika dikaitkan pada surat-surat penegasan dari DJP sebelumnya, Surat Edaran, maupun Peraturan Menteri Keuangan terkait dengan usaha kerja sama, JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan tetapi hanya mempunyai kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh serta pemungutan PPN dalam hal JO melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama JO (administratif JO). Apakah memperluas definisi Badan dengan mencantumkan Kerja Sama Operasi (joint operation) termasuk sebagai badan lainnya dan memberi definisi baru terhadap JO dengan mengadopsi definisi Operasi Bersama dalam PSAK 66 lalu dengan sendirinya mengakibatkan JO menjadi wajib PPh Badan?
Berhubung butir a Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2020 di atas menyebutkan bahwa pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama Kerja Sama Operasi (Joint Operation) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan maka rujukannya tentu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Namun, selama ini satu-satunya ketentuan terkait Pajak Penghasilan yang pernah diterbitkan sehubungan dengan JO adalah SE-44/PJ./1994 tentang mekanisme pemecahan bukti potong PPh pasal 23. Selebihnya hanya berupa surat-surat penegasan sebagai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Wajib Pajak, termasuk S-323/PJ.42/1989 yang menegaskan bahwa JO bukan merupakan subjek pengenaan PPh Badan.
Definisi JO pada PER-04/PJ/2020 berbeda dengan definisi Badan menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang merupakan salah satu dasar hukum terbitnya PER-04/PJ/2020 di mana dalam PMK tersebut kerja sama operasi (joint operation) sama sekali tidak disebut sebagai yang termasuk dalam bentuk badan lainnya. JO termasuk sebagai bentuk badan lainnya dari pengertian Badan hanya terkait dengan kewajiban untuk pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksanaan UU PPN, tidak dalam konteks PPh Badan.
Beberapa referensi terbaru mengenai Kerjasama Operasi adalah sebagai berikut: S-233/WPJ.19/2022 tanggal 06 Juni 2022, S-64/PJ.02/2021 tanggal 1 Maret 2021 dan S-138/WPJ.09/KP.05/2022
-end-